Ketika kita merenung tentang makna budaya, kita tak terhindarkan untuk memikirkan keragaman bahasa, pakaian, dan makanan dalam masyarakat multikultural kita, karena aspek-aspek budaya tersebut paling terlihat dan mudah dipahami oleh orang yang tidak akrab dengan budaya tersebut. Budaya lebih dalam daripada latar belakang itu; keyakinan khusus yang tertanam dalam diri kita di rumah bersama dengan budaya masyarakat berperan penting dalam membentuk keyakinan, norma, nilai, dan persepsi kita terhadap ide dan perilaku tertentu.

Ketika berbicara tentang kesehatan mental, budaya masyarakat yang mengelilingi kita juga mempengaruhi sikap kita ketika mencari pertolongan, jenis dukungan yang kita butuhkan, dan ketika kita memutuskan untuk mencari pertolongan atau tidak. Norma budaya dapat menjelaskan perbedaan dalam cara orang menyampaikan gejala mereka hingga kelalaian besar ketika melaporkan gejala mana yang mereka sampaikan. Setiap kelompok budaya membawa keyakinan, tradisi, dan praktiknya sendiri seputar konsep kesehatan mental, menjadikannya penting untuk memahami peran faktor budaya ini dalam pendekatan keseluruhan seseorang terhadap pemahaman kesehatan mental.
Keragaman merupakan salah satu kekuatan Indonesia, tetapi Indonesia juga adalah negara dengan disparitas ekonomi, pendidikan dan budaya yang ikut mempengaruhi kesehatan mental penduduknya. Kondisi seperti kemiskinan, penindasan politik, dan trauma keluarga dan komunitas, kesehatan mental mereka juga ikut dipengaruhi oleh budaya yang mengelilingi mereka serta kondisi yang melatarbelakanginya.
Agar pemberian perawatan kesehatan mental yang mudah diakses dan efektif bagi siapapun dengan berbagai latar budaya, kita memerlukan pemahaman terhadap faktor-faktor yang terkait dengan budaya yang mempengaruhi kesehatan mental, seperti:

Stigma Budaya: Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda tentang kesehatan mental, dan bagi banyak orang, ada stigma. Beberapa budaya melihat tantangan kesehatan mental sebagai tanda kelemahan; yang lain tidak melihatnya sebagai masalah kesehatan atau meyakini bahwa itu ada dalam kendali masing-masing individu. Pandangan yang tidak akurat ini dapat membuat kesulitan tersendiri bagi mereka yang berjuang untuk berbicara terbuka tentang masalah kesehatan mental dan akan berdampak negatif pada keputusan mereka untuk mencari bantuan. Jadi, pemahaman budaya terkait stigma sangat berdampak pada individu dengan kesehatan mental.

Keraguan Membicarakan Gejala: Tabu budaya juga dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menjelaskan gejala dan kekhawatiran pribadi kepada keluarga dan teman yang mungkin dapat membimbing mereka kepada bantuan profesional. Melarang pembicaraan tentang kekhawatiran emosional dan kemungkinan masalah mental dapat memiliki dampak besar pada apakah seseorang memilih untuk mengakui gejala fisik dan emosional dan mencari bantuan profesional.
Kurangnya Dukungan Komunitas: Tanpa dukungan keluarga, teman, dan komunitas yang peduli, seseorang yang mengalami tanda peringatan kesehatan mental bisa terlantar, merasa malu, tanpa tempat untuk beralih dan mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan. Memahami dampak merugikan dari stigma budaya ini penting untuk menyediakan layanan kesehatan mental kepada anggota minoritas ras dan etnis, serta anggota budaya mayoritas.
Kebutuhan Akan Sumber Daya yang Memahami: Saat mencari pemahaman kesehatan mental, sebagian besar orang merasa lebih nyaman berbicara dengan seseorang yang bisa berhubungan dengan pengalaman dan situasi mereka. Bagi beberapa minoritas, bisa sulit menemukan sumber daya yang mengerti faktor budaya dan kebutuhan mereka, sehingga komunikasi terbuka dengan keluarga yang mendukung dan komunitas yang peduli menjadi sangat penting. Indonesia merupakan negara ke-3 setelah China dan India di Asia yang memiliki angka gangguan mental tinggi. Individu dengan gangguan mental di Indonesia disebut dengan ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa). Prevalensi gangguan mental emosional depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai 14 juta jiwa atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara untuk gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 jiwa atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.

Pengalaman setiap orang dalam perjalanan pulih dari masalah kesehatan mental bisa sangat beragam. Memahami pengaruh masyarakat dan budaya dalam perawatan kesehatan mental adalah langkah pertama untuk menghindari situasi yang merugikan, menghapus hambatan, dan akan mendorong orang dari semua budaya untuk secara terbuka mau mengakses perawatan yang mereka butuhkan. Pencarian pertolongan medis pun masih sangat minim, 98% menyatakan masih mencari pertolongan informal seperti melakukan ritual agama.Ada keterkaitan antara literasi kesehatan mental dan sikap komunitas terhadap gangguan mental terhadap intensi seseorang untuk mencari pertolongan profesional. Sikap komunitas terhadap gangguan mental sangat berkontribusi terhadap apakah seseorang akan merujuk dirinya atau orang-orang terdekatnya apabila menemui kasus gangguan mental di sekitarnya.
Trimakasih artikelnya