Anda mungkin sudah mendengar banyak tentang peran teknologi dalam merusak hubungan manusia hingga munculnya isolasi sosial. Ironi dari media sosial adalah membuat “diri virtual” kita tersedia untuk terlibat 24/7 didalamnya. Tidak hanya itu, perilaku orang tua yang “tenggelam dalam teknologi” juga dapat membatasi jumlah interaksi orang tua-anak. Akhirnya anak-anak  menjadi kurang memiliki keterampilan sosial dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi, memperlihatkan tidak adanya hubungan emosional BUKAN ketiadaan orang secara fisik disekitar kita. Itulah mengapa kita bisa merasa kesepian meski kita berada di tengah orang banyak. Berada di tengah banyak orang bisa membuat kita merasa sangat kesepian dalam dua kejadian tertentu. Pertama, jika anda dikelilingi oleh orang yang tidak anda kenal dan tidak dekat, anda bisa mengalami kesepian jika anda merindukan kedekatan, bukan hanya koneksi secara fisik.

Anda mungkin sudah mendengar banyak tentang peran teknologi dalam merusak hubungan manusia hingga munculnya isolasi sosial. Ironi dari media sosial adalah membuat “diri virtual” kita tersedia untuk terlibat 24/7 didalamnya. Tidak hanya itu, perilaku orang tua yang “tenggelam dalam teknologi” juga dapat membatasi jumlah interaksi orang tua-anak. Akhirnya anak-anak  menjadi kurang memiliki keterampilan sosial dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Kemudian, anda juga bisa merasa kesepian jika anda sedang hangout dengan sekelompok teman atau keluarga dan semua orang lebih fokus pada smartphone-nya daripada interaksi tatap muka satu sama lain. Memang, penyebab besar dari kesepian “sendirian di tengah keramaian” adalah jumlah “screen time” yang dialami semua orang di sekitar kita. Terkadang, momen paling sepi pada perayaan keluarga atau pertemuan teman bisa jadi ketika semua orang dengan sungguh-sungguh memeriksa ponsel mereka meskipun mereka telah berupaya untuk berkumpul bersama untuk merayakan acara tersebut.

Siapa yang kesepian? Sementara sebagian besar dari kita pernah merasa kesepian di beberapa titik dalam hidup kita. Beberapa dari kita lebih dari yang lain. Peneliti psikologis telah mengungkapkan bahwa orang dewasa muda lebih kesepian daripada orang paruh baya dan orang dewasa yang lebih tua (Chald & Lawton, 2017). Dewasa muda yang mencapai masa pubertas dengan ponsel selalu di tangan tidak hanya melewatkan beberapa interaksi sosial rutin karena “gangguan ponsel”, tetapi mereka juga tumbuh bersama orang tua yang mendorong kereta bayi, menggandeng anak dengan smartphone selalu di tangan mereka!

Dewasa muda yang mencapai masa pubertas dengan ponsel selalu di tangan tidak hanya melewatkan beberapa interaksi sosial rutin karena “gangguan ponsel”, tetapi mereka juga tumbuh bersama orang tua yang mendorong kereta bayi, menggandeng anak, dengan smartphone selalu di tangan mereka!

Makin banyak bayi dan balita yang memegang perangkat elektronik. Hal ini bisa jadi mencerminkan obsesi orang tua mereka terhadap teknologi. Jika anak-anak dihibur dengan menekan tombol, pengasuh akan memiliki lebih banyak waktu untuk menekan tombol juga di perangkat mereka sendiri. Reed, Hirsh-Pasek, & Golinkoff (2017) menemukan bahwa gangguan telepon seluler berdampak negatif terhadap keberhasilan belajar anak ketika sesi belajar dengan orang tua terganggu oleh panggilan telepon seluler bahkan jika materi yang dibahas sama ketika tidak ada gangguan panggilan telepon. Rasanya memang perlu lebih banyak perhatian diberikan pada kebutuhan sosial dari anak, remaja hingga dewasa muda. Anak muda saat ini semakin mengalami kesepian, meskipun teknologi menghubungkan mereka 24/7.

Daya tarik teknologi online tampaknya memang sulit untuk ditolak oleh banyak remaja hingga orang dewasa. Grup obrolan, forum diskusi, situs belanja, permainan online dan media sosial, dapat menyedot perhatian orang dan mencuri waktu kita berjam-jam dari kehidupan nyata. Jika seorang anak membutuhkan orang tua, yang kebetulan memeriksa ponselnya atau duduk lama di depan laptop, bukan tidak mungkin anak akan jadi menyendiri meskipun mereka berada di ruangan yang sama dengan orang tuanya.

Daya tarik teknologi online tampaknya memang sulit untuk ditolak oleh banyak remaja hingga orang dewasa. Grup obrolan, forum diskusi, situs belanja, permainan online dan media sosial, dapat menyedot perhatian orang dan mencuri waktu kita berjam-jam dari kehidupan nyata. Jika seorang anak membutuhkan orang tua, yang kebetulan memeriksa ponselnya atau duduk lama di depan laptop, bukan tidak mungkin anak akan jadi menyendiri meskipun mereka berada di ruangan yang sama dengan orang tuanya.

Kurangnya ketersediaan orang tua dan orang dewasa kemungkinan dapat menjadi penyebab signifikan dari kesepian yang dialami oleh remaja dan Milenial saat ini. Banyak yang tidak mengalami pengalaman tatap muka yang sama dari orang tua mereka seperti yang dialami generasi sebelumnya. Orang dewasa muda belajar untuk mengandalkan teknologi untuk tetap berhubungan dengan teman-teman mereka sepanjang waktu daripada belajar bagaimana benar-benar berkomunikasi dan bercakap-cakap tatap muka atau bahkan melalui telepon. Memang kondisi pandemi seperti sekarang ini juga memperkuat waktu imersi kita pada layar handphone. Mungkin kita harus memikirkan tentang “batas waktu layar orang tua”, bukan hanya mengkhawatirkan waktu layar anak-anak saja.

Efek teknologi pada interaksi manusia adalah bagian dari munculnya perasaan kesepian, tetapi tidak dapat disalahkan hanya pada sifat platform jaringan sosial yang “berjarak, tetapi langsung”. Kita bisa menghabiskan waktu di kepala kita masing-masing, ketika membaca, menanggapi hingga memposting ke media sosial. Contohnya seperti ketika memberi penilaian pada sebuah foto dengan informasi terbatas. Kita segera memutuskan apakah itu seseorang yang ingin kita kenal lebih baik. Kemudian langsung membuat penilaian tentang seperti apa seseorang tersebut di “kehidupan nyata”. Padahal seringkali foto dan data seseorang tulis di media sosial merupakan hal yang ingin ditampilkan pada orang lain, bukan kondisi yang sebenarnya. Kita lupa bahwa hubungan sering kali dipicu oleh alasan emosional dan tidak dapat diketahui jika  kita tidak melihat hingga mengenal seseorang yang belum pernah kita temui sebelumnya atau yang sudah kita kenal, tanpa berbagi pengalaman di sekolah, di suatu acara, dll.

Media sosial mungkin membuka dunia kita untuk satu miliar orang baru, tetapi pengalaman real life tetaplah sangat penting bagi perkembangan cara berpikir, merasakan hingga untuk membangun hubungan emosional dapat benar-benar berkembang dengan cara yang mungkin tidak dapat dilakukan hanya dengan menggeser layar smartphone kita.

Media sosial mungkin membuka dunia kita untuk satu miliar orang baru, tetapi pengalaman real life tetaplah sangat penting bagi perkembangan cara berpikir, merasakan hingga untuk membangun hubungan emosional dapat benar-benar berkembang dengan cara yang mungkin tidak dapat dilakukan hanya dengan menggeser layar smartphone kita.