Berita pelecehan seksual sepertinya sedang marak. Dalam beberapa minggu terakhir, pengungkapan tentang pelecehan seksual dan dampaknya yang menghancurkan telah membanjiri sosial media. Namun, tampaknya kita tidak memiliki wawasan tentang mentalitas para pelaku pelecehan. Apa yang mereka pikirkan ketika mereka melakukan tindakan keji ini?

Sebenarnya pelecehan seksual itu apa sih? Mitos yang umum adalah pelecehan seksual tidak separah kekerasan seksual tetapi sebenarnya tidak sesederhana itu. Pelecehan seksual berkaitan dengan struktur kekuasaan, seringkali terjadi dalam situasi pekerjaan. Pelaku memegang kunci untuk bergerak maju dan naik, menciptakan dilema bagi korban: tunduk dan dieksploitasi atau melawan dan diberhentikan. Korban ditempatkan dalam situasi kalah-kalah yang mengintimidasi tanpa kekuatan atau kendali apa pun.

Mitos yang umum adalah pelecehan seksual tidak separah kekerasan seksual tetapi sebenarnya tidak sesederhana itu.

Oleh karena itu, pelecehan seksual dapat dan memang berjalan secara keseluruhan mulai dari komentar yang merendahkan hingga permintaan bantuan seksual hingga rayuan seksual yang tidak diinginkan. Selain itu, tidak selalu tetapi bisa mencakup kekerasan seksual, yang merupakan tindakan seksual tanpa persetujuan atau paksaan, termasuk sentuhan seksual.

Pelecehan juga berbeda dari perhatian seksual yang tidak diinginkan, yang terdiri dari komentar yang tidak diinginkan dan komentar yang tidak dirancang untuk merendahkan dan mengintimidasi. Pikirkan kalimat pembuka yang mengerikan: “Saya kekurangan kasih sayang nih, maukah kamu tidur dengan saya?” dari seorang pria asing di jalan merupakan perhatian seksual yang tidak diinginkan, tetapi jika dari atasan/ sejawat yang dekat dengan atasan anda, itu adalah pelecehan seksual.

Sebenarnya tidak hanya perempuan korbannya dan laki-laki sebagai pelaku, meskipun tampaknya ini yang terjadi pada sebagian besar kasus. Para perempuan yang menghadapi pelecehan seksual oleh atasan maupun sejawatnya tidak terjadi hanya pada orang terkenal. Sebagian besar adalah manusia biasa.

Sebenarnya tidak hanya perempuan korbannya dan laki-laki sebagai pelaku, meskipun tampaknya ini yang terjadi pada sebagian besar kasus. Para perempuan yang menghadapi pelecehan seksual oleh atasan maupun sejawatnya tidak terjadi hanya pada orang terkenal. Sebagian besar adalah manusia biasa. Pegawai kantor, mahasiswa, petugas kesehatan, yang atasannya mengontrol penjadwalan, nilai mahasiswa/kenaikan gaji, promosi dan referensi.

Jadi siapa yang melakukan pelecehan seksual? Saya coba menggali beberapa penelitian psikologis, dan menemukan beberapa karakteristik umum (kebanyakan) pria yang melakukan pelecehan seksual (kebanyakan) pada wanita. Apa saja? Coba kita lihat:

Karakteristik 1: Dark Triad Personality/ Sifat triad gelap
Mendengar namanya saja sudah terasa seperti sifat kepribadian yang buruk ya. Sebenarnya, itu merupakan tiga kepribadian menjadi satu: narsisme, psikopati, dan Machiavellianisme.

Dua yang pertama mungkin anda sudah pernah dengar: Narsisme adalah pandangan yang berlebihan tentang bakat sendiri ditambah dengan kurangnya empati dan memiliki keinginan kuat untuk selalu diiyakan. Orang narsis tidak peduli jika anda menyukainya, tetapi mereka membutuhkan anda untuk berpikir bahwa mereka kuat dan pantas dikagumi.

Narsisis menemukan cara untuk membenarkan pelecehan seksual jika mereka pikir mereka telah kehilangan pengalaman seksual yang “layak mereka dapatkan.” Mereka tidak dapat membayangkan bahwa seseorang tidak akan tertarik pada kesempatan untuk mendapatkan perhatian dari mereka.

Selanjutnya, psikopati berkisar pada dua hal: dominasi tanpa rasa takut dan impulsif agresif. Dengan kata lain, psikopat adalah pengeksploitasi yang berani dan manipulatif. Mereka juga tidak memiliki empati tetapi unggul ketika meniru emosi yang sesuai untuk mengeksploitasi korban mereka. Psikopat melecehkan secara seksual karena satu alasan, karena mereka menginginkannya. Jika peluang muncul dengan sendirinya (atau mereka menciptakan peluang), mereka akan memanfaatkan sepenuhnya.

Kemudian, Machiavellianisme, sebenarnya dinamai berdasarkan politisi Renaisans Italia; Niccolo Machiavelli. Karyanya, The Prince, menggambarkan filosofi politik yang tidak bermoral serta menipu dengan tujuan jangka panjang dengan biaya berapa pun.

Gabungan ketiga sifat ini adalah seseorang yang antusias untuk mengeksploitasi, menipu, dan memanipulasi tanpa kepedulian terhadap perasaan orang lain, semuanya dibungkus agar terlihat bagus dan keren. Dengan kata lain, melakukan pelecehan seksual menjadi tidak sulit untuk orang ini.

Narsisme adalah pandangan yang berlebihan tentang bakat sendiri ditambah dengan kurangnya empati dan memiliki keinginan kuat untuk selalu diiyakan. Orang narsis tidak peduli jika anda menyukainya, tetapi mereka membutuhkan anda untuk berpikir bahwa mereka kuat dan pantas dikagumi.

 

Karakteristik #2:  Pelepasan Moral/ Moral disengagement

Pelepasan moral merupakan proses kognitif di mana seseorang membenarkan perilaku korupsi mereka sendiri dan menciptakan versi realitas mereka sendiri sehingga prinsip-prinsip moral tidak berlaku untuk mereka.

Pelepasan moral pertama kali dikemukakan oleh psikolog Albert Bandura. Teorinya, sebagaimana diterapkan pada pelecehan seksual, memiliki beberapa bagian:

1. Pertama datang pembenaran moral, atau menggambarkan pelecehan sebagai tindakan yang dapat diterima. Contohnya ketika seorang atasan mengatakan: “dari jaman saya bekerja ketika muda hal seperti ini biasa, tidak perlu dibesar-besarkan.”

2. Berikutnya adalah pelabelan eufemistik: Penggunakan istilah yang seakan-akan bersih untuk menyebut perilaku mereka. Contohnya ketika serangan seksual telah dilakukan, pelaku menganggapnya sebagai “takdir telah mempertemukan kita”.

3. Kemudian, pemindahan tanggung jawab, menghubungkan pelecehan dengan kekuatan luar di luar kendali mereka. Contohnya: “Memang budayanya seperti ini, saya pikir semuanya tahu akan hal ini.”

4. Ada juga perbandingan yang menguntungkan yaitu desakan bahwa perilaku mereka bisa saja lebih buruk, dan distorsi konsekuensi, di mana individu meminimalkan kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan mereka pada korban. Contohnya: “Apalah yang saya lakukan, orang lain bisa lebih jahat loh.”

5. Terakhir, ada dehumanisasi dan atribusi menyalahkan, yang masing-masing menghilangkan kepedulian terhadap korban. Malah menyalahkannya atas kejadian tersebut. Contohnya ketika seorang perempuan diperkosa, disebut  sebagai genit karena mengenakan rok mini. Kemudian; “wajar saja dilecehkan.”

Para pelaku pelecehan tidak mengalami kesulitan tidur di malam hari. Melalui pelepasan moral, mereka yakin bahwa mereka tidak melakukan kesalahan, bahwa tindakan mereka normal dan pantas, dan bahwa mereka tidak menyebabkan kerusakan apa pun. Pikiran tiap orang bisa sangat berbeda dan bisa jadi rumit: kita sering memilih perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kita, tetapi terkadang, melalui pelepasan moral, kita mengubah nilai-nilai itu untuk membenarkan perilaku kita.

Hasilnya? Para pelaku pelecehan tidak mengalami kesulitan tidur di malam hari. Melalui pelepasan moral, mereka yakin bahwa mereka tidak melakukan kesalahan, bahwa tindakan mereka normal dan pantas, dan bahwa mereka tidak menyebabkan kerusakan apa pun. Pikiran tiap orang bisa sangat berbeda dan bisa jadi rumit: kita sering memilih perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kita, tetapi terkadang, melalui pelepasan moral, kita mengubah nilai-nilai itu untuk membenarkan perilaku kita. Ini adalah bagaimana pelaku pelecehan seksual dapat mempertahankan pandangan mereka tentang diri mereka sendiri sebagai orang yang “baik”.

Karakteristik lainnya masih ada? Cekidot minggu depan ya!