Dilla( bukan nama sebenarnya) pertama kali mengunduh Instagram, ketika berusia 16 tahun, dia merasa percaya diri dengan penampilannya di kehidupan nyata maupun online. “Saya ga akan mikir lama-lama sebelum memposting selfie,” kenangnya. Kini dia berusia 19 tahun, cukup sering menghabiskan lebih banyak waktu di sosial media berbasis foto. Kini dia sering melihat influencer atau teman-teman kuliahnya memposting foto yang terlihat sempurna. Foto-foto yang ia lihat mulai membuatnya merasa cemas dan tidak aman: Apakah saya terlihat gemuk ketika difoto? Apakah hidungnya terlihat pesek? Mengapa saya tidak terlihat seperti influencer cantik dan keren itu ya? “Saya terus memikirkan hal ini,” kata Dilla.” Saya jadi sedih sendiri.

Kini dia sering melihat influencer atau teman-teman kuliahnya memposting foto yang terlihat sempurna. Foto-foto yang ia lihat mulai membuatnya merasa cemas dan tidak aman: Apakah saya terlihat gemuk ketika difoto? Apakah hidungnya terlihat pesek? Mengapa saya tidak terlihat seperti influencer cantik dan keren itu ya? “Saya terus memikirkan hal ini,”

Untuk menenangkan perasaannya, dia mengunduh aplikasi pengeditan foto. Dengan jarinya, dia mengecilkan ujung hidungnya, dan memperhalus wajahnya. Tidak terlalu banyak, dia tidak ingin foto yang direkayasa menyimpang terlalu jauh dari penampilan aslinya. “Aneh juga kan kalo kita tidak terlihat seperti foto-foto Instagram di kehidupan nyata kita, jadi aku mencoba untuk mencapai di kehidupan nyata bagaimana penampilanku di Instagram,” jelasnya. Kini ia mulai berpikir untuk melakukan bedah plastik untuk memancungkan hidung ataupun mengecilkan betisnya.

Apa yang membuat pengeditan foto berbeda? Dulu, cita-cita itu disebarluaskan oleh selebritis. Kita dapat memahami bahwa standar tersebut tidak dapat dicapai karena jarak yang sangat jauh antara bintang dan manusia biasa; selebriti, mereka memiliki komitmen profesional terhadap penampilan mereka melalui olahraga dan diet terkontrol, dan tim ahli tata rias, rambut, dan fashion.

Anda mendapatkan ketidaksesuaian antara cara anda memandang diri sendiri dan gambar yang anda lihat di media sosial. Hal ini meningkatkan ketidakpuasan pada tubuh kita sendiri.

Tapi sekarang celah itu menyempit bahkan semakin menghilang. Aplikasi pengeditan foto mudah didapat sehingga cita-cita kecantikan yang tidak realistis bisa digunakan siapa saja tanpa perlu pelatihan yang berarti. Prof. Susan Paxton dalam International Journal of Eating Disorders menemukan bahwa semakin banyak  remaja yang terlibat dalam pengeditan foto, semakin mereka mengkhawatirkan tubuh dan diet mereka. Anda mendapatkan ketidaksesuaian antara cara anda memandang diri sendiri dan gambar yang anda lihat di media sosial. Hal ini meningkatkan ketidakpuasan pada tubuh kita sendiri.

Studi lain menemukan bahwa semakin banyak melihat selfie dikaitkan dengan harga diri negatif. Ada juga penelitian yang mengungkapkan hubungan antara pengeditan foto dan keterbukaan terhadap bedah kosmetik. Platform di mana penyempurnaan begitu mudah dapat membuat kita lebih tertarik pada penyempurnaan yang bersifat permanen menjadi hal yang masuk akal.

Orang dengan gangguan dismorfik tubuh/ Body Dysmorphic (BDD) disibukkan dengan cacat fisik imajiner atau nyata yang mungkin tidak disadari oleh orang lain. Namun, mereka terus memantau dan mencoba memperbaiki atau menyembunyikan kekurangan yang dirasakan.

Bagi sebagian orang, operasi kosmetik bisa memberdayakan. Mengubah satu fitur yang terus-menerus mengganggu harga diri seseorang dapat menghilangkan rasa tidak aman dan menanamkan kepercayaan diri yang bermanfaat bagi karier, persahabatan, dan hubungan romantis. Tetapi pengeditan foto dapat memperburuk citra tubuh pada individu yang rentan.

Orang dengan gangguan dismorfik tubuh/ Body Dysmorphic (BDD) disibukkan dengan cacat fisik imajiner atau nyata yang mungkin tidak disadari oleh orang lain. Namun, mereka terus memantau dan mencoba memperbaiki atau menyembunyikan kekurangan yang dirasakan. Mereka mungkin memeriksa cermin atau mencari apapun yang dapat menentramkan hati mereka bisa puluhan kali sehari. Ciri-ciri kepribadian tertentu, seperti kepekaan terhadap penolakan dan perfeksionisme bisa berkontribusi pada perkembangan gangguan tersebut. Ditambah lagi, paparan terhadap gambar yang difilter untuk terlihat sempurna. Banyak faktor yang bekerja sama, tetapi media sosial dapat berperan dalam membuat orang menjadi lebih rentan.

Ayo didik dirimu mengenai cita-cita kecantikan yang tidak realistis.

Setelah melalui beberapa sesi konseling bersama saya, kini Dilla tidak mengedit fotonya lagi. Namun dia mengabari saya jika ia masih memperhatikan foto orang lain dan membandingkan dirinya dengan foto tersebut. Namun kini ia lebih sadar akan prosedur di balik foto-foto tersebut, yang sempat membuatnya merasa frustrasi dan tidak nyaman. Kini ia berhenti mengikuti beberapa influencernya dan menghabiskan lebih sedikit waktu di sosmed. “Berada di Instagram belasan jam tidak baik untuk saya. Jadi saya berhenti memberi makan obsesi saya, ”

Jadi Bagaimana Ya Mendidik Diri Kita Untuk Lebih Positif dengan Body-Image Kita:
Ayo didik dirimu mengenai cita-cita kecantikan yang tidak realistis.
Ingat banyak langkah yang diambil untuk membuat gambar indah yang anda lihat setiap hari.
Latih kembali cara anda memandang diri sendiri di cermin. Mereka yang memiliki BDD memperbesar satu fitur, yang selanjutnya dapat mengubah persepsi mereka. “Bayangkan jika anda menatap jari-jari anda dari dekat selama lima menit, bisa mulai terlihat terdistorsi. Berdirilah pada jarak yang masuk akal dari cermin, alokasikan perhatian ke seluruh tubuh anda, dan catat juga fitur yang anda sukai. Coba amati refleksi anda secara objektif dan hindari kata-kata kasar atau menghakimi seperti: menjijikkan atau jelek banget.

Meningkatkan keterampilan perilaku kognitif, seperti mengidentifikasi pola pikir yang tidak membantu. Salah satu pola yang berkaitan dengan citra tubuh/ body-image adalah pemikiran semua atau tidak sama sekali. Orang mungkin percaya bahwa mereka terlihat sempurna atau mengerikan. Tantang ekstrem itu.

Teknik lainnya adalah dengan bertanya, “apa yang akan saya katakan kepada seorang teman?”
Luangkan waktu untuk menjauh dari media sosial. Jika istirahat tanpa batas terasa menakutkan, hindari media sosial selama 48 jam. Akui bahwa sulit untuk menjauh, karena aplikasi sosial media dirancang untuk mempertahankan perhatian kita. Kemudian lacak peran yang mereka mainkan dalam hidup anda: Apa yang ingin anda capai melalui media sosial? Merasa cantik? Ingin memperlihatkan diri anda? Untuk terhubung dengan teman? Renungkan apakah sosmed benar-benar menyediakan validasi atau koneksi tersebut. Dengan tidak menggunakannya secara terus-menerus, kita sebenarnya telah menawarkan diri kita kesempatan untuk mencurahkan energi mental kita pada apa yang kita anggap lebih berarti, terutama dalam kehidupan nyata.

*Nama Dilla telah diubah untuk menghormati privasinya.